Listen to and view wildlife on Mt Salak
Burung

Selama tahun 2006, tahun setelah hak atas tanah Vila Botani diakuisisi, dua kali survei pengamatan burung dilakukan, pengamat melihat 15 jenis burung. Sejak itu, lingkungan Vila Botani menjadi semakin rimbun dan ada dua langkah yang sudah dilakukan untuk melindungi burung:

  • Memasang tanda larangan berburu burung dan semua burung liar yang ada di kawasan vila dilindungi.
  • Menyewa petugas keamanan harian, ketika musim burung bertelur, untuk patroli lapangan dan mengusir pemburu burung.


Pada bulan Agustus 2010, pengamat burung yang sama yang menyelenggarakan survei pada tahun 2006, Noni Fransisca T., mengadakan dua survei lagi (pada sore hari menjelang malam dan pada pagi hari) dengan rekannya dari Burung Nusantara (BuNu). Bersama, mereka menemukan 30 jenis. Sebagai tamabahan, warga setempat pernah melakukan survei lapang lebih intensig dalam waktu yang lebih lama dan menemukan 9 jenis yang terlewatkan oleh tim BuNu. Oleh karena itu, kami percaya bahwa ada 40 jenis burung yang sekarang bisa kita amai di Vila Botani. Yang menarik, dua di antaranya merupakan raptor (burung pemangsa) yaitu plaintive cuckoo alias burung kukuk (wiwik) dan garuda hawk eagle (elang). Selain itu, jenis burung yang menarik lainnya adalah burung berkicau yaitu kutilang (sooty-headed bulbul) dan burung puyuh gong gong (the chesnut-bellied partridge).
 
j
Burung Wiwik
   
Di Vila Botani, ada beberapa jenis burung wiwik, salah satunya plaintive cuckoo (kukuk), termasuk dalam marga Cacomantis. Hal yang unik dari burung wiwik yaitu kebiasaannya yang “buruk” karena menggantungkan telur di sarang burung berkicau lain. Wiwik merupakan burung pemakan serangga. “Kekejian” wiwik tak hanya nebeng sarang tetapi juga menitipkan piyikan (anakan burung wiwik) diasuh oleh induk lain, sambil menunggu kesempatan untuk membunuh saudara tirinya. Nama marga Cacomantis berasal dari Bahasa Yunani, kakos yang berarti jahat atau isyarat datangnya wabah penyakit dan mantis yang artinya raib. Kehadiran burung wiwik dipercaya sebagai isyarat munculnya ramalan datangnya wabah penyakit dan cuaca yang buruk.
   
Elang Jawa (Spizaetus bartelsi)
j
   
Elang jawa merupakan maskot satwa langka Indonesia (ditetapkan sejak tahun 1992). Elang jawa kerap diidentikan sebagai burung Garuda, lambang negara Indonesia. Elang jawa dan dua jenis elang lainnya kerap terlihat dan terdengar suaranya setiap hari di Vila Botani, mencari mangsa berupa tikus, tupai, dan ular. Soaring ( melayang di udara dengan sayap diam) di atas tanah terbuka atau di antara pohon pinus di hutan. Elang jawa ini pernah sekali terlihat menurunkan tikus mati dari paruh¬nya di hutan pinus. Sejumlah elang tampak di sekitar Vila Botani, tapi spesiesnya cukup langka. Penghitungan elang jawa yang dilakukan oleh proyek Chevron di sebelah selatan Gunung Salak, hanya ada 11 ekor pada tahun 2013.
KLIK DI SINI Untuk mendengarkan rekaman suara elang jawa
   
j
Cangkurileung (Pycnonotus aurigaster)
   
Cangkurileung (The sooty-headed bulbul) merupakan jenis burung berkicau yang menggunakan 10 jenis kicauan: peringatan, tanda bahaya, agresif, memohon, kontak, masa kenalan, bahaya, menggairahkan, terbang, dan undangan. Kicauan peringatan dan kontak digunakan lebih sering dibandingkan panggilan lainnya. Panggilan agresif, tanda bahaya, dan bahaya digunakan untuk komunikasi antar jenis burung di habitat yang sama. Habitat burung cangkurileung merupakan hutan subtropik atau hutan tropis basah dataran rendah, Jawa Barat salah satunya.
KLIS DI SINI Untuk mendengarkan rekaman suara Cangkurileung
   
Puyuh (Arborophila javanica)
j
   
Burung puyuh (the chestnut-bellied partridge) disebut juga Javan hill-partridge atau burung gong-gong. Gaung kicaun burung-burung terestrial (burung yang lebih banyak di permukaan tanah) terdengar duet bersautan dengan burung lain yang jaraknya berjauhan. Burung pertama menyuara-kan kicauan yang keras dan cepat dengan nada melengking seperti pluit dan burung kedua dengan teriakan beruntun yang lebih halus.

Dalam sebuah blog tentang hiking di Gunung Pangrango, Alex Korns menulis tentang burung gong-gong pada tahun 2008: Sejak 1991, ketika saya pertama kali mulai berjalan di hutan kaki Gunung Gede dan Pangrango, saya telah terbiasa dengan panggilan burung gong-gong, puyuh gong-gong. Gaung suara burung ini dapat didengar dalam jarak jauh. saya belum pernah melihat burung ini, hanya baru mendengar, lama-lama berkurang dan lebih jarang terdengar. Pada hari Minggu, 30 November, 2008, sebabnya hilang suara burung gong-gong menjadi lebih jelas, ketika saya berjalan dengan Robert Baldwin di leereng Gn Pangrango, menyusuri garis punggungan berhutan di Pasir Kramat, di atas desa Pancawati di sektor B.

Kami bingung melihat banyak lubang-lubang di tanah di samping jalur, yang tampak seolah-olah lubang tersebut baru digali dengan sekop. Di salah satu lubang itu, saya melihat bentuk aneh “keranjang” terbalik di samping lubang. Pemandu kami Pak Empad menjelaskan bahwa ini adalah perangkap yang cerdik untuk burung gong-gong itu. Sebenarnya ada dua lubang, satu terbuka dan yang lain di bawah keranjang, dengan “lorong” antar lubang. Ketika digunakan, lubang yang terbuka akan ditutupi dengan banyak daun, sehingga berat tubuh burung yang berjalan memungkinkan jatuh ke dalam lubang dan gagal melihat cahaya di atasnya. Sebaliknya, ia akan melihat cahaya di akhir terowongan, yang akan membinbingnya untuk berjalan ke dalam lubang kedua dan dari situ ke keranjang yang menjadikannya tak bisa melarikan diri. “Burung gong-gong telah menjadi langka di hutan, kebanyakan dari mereka telah pergi ke kota,” kata pemandu kami yang lebih muda sambil bercanda.
     
j
d
Ayam hutan (Gallus gallusa)
BETINA
JANTAN
 
Pejalan kaki di hutan dekat Vila Botani kadang kala diberi keberuntungan dengan melihat ayam hutan (jungle fowl). Pada tanggal 13 Desember 2015, ketika sedang berjalan di atas Vila Botani, kami mendengar dan menandai di 3 titik yang berjauhan. Di jarak tertentu, tubuh ayam terlihat berwarna hitam dengan leher merah, mirip dengan ayam hutam merah atau canghegar dalam bahasa Sunda. Sedangkan “sepupu” ayam ini mempunyai warna merah lebih sedikit dan sedikit warna bulu hijau gelap, dalam bahasa Sunda dinamai kasituin.

Ayam hutan merah merupakan unggas tropis, anggota dari keluarga Phasianidae. Ayam hutan ini diyakini merupakan leluhur dari ayam domestik setelah terjadi kawin silang dengan ayam hutan abu-abu. Ayam hutan merah didomestikasi pertama kali sekitar lima ribu tahun lalu di Asia.

Ayam hutan ini pemakan segala (omnivora) dan juga memakan serangga, biji-bijian, dan buah-buahan termasuk tanaman budidaya macam kelapa sawit. Kemampuan terbang terbatas, hanya terbang mencapai sarang pada saat senja atau terbang begitu saja, sekadar untuk melindungi diri dari pemangsa.
   
MORE BIRDS OF VILA BOTANI
   
s
Raja udang adalah burung endemik di Pulau Bali dan Jawa dan tidak ditemukan di tempat lain.
   
   
Burung pelatuk (Dendrocoposmacei) adalah jenis burung keluarga Picidae yang pagut kulit pohon sambil cari serangga.
s
   
   
s
Pijantung kecil atau burung pemburu laba-laba (Aracnothera longirostra) adalah burung paruh panjang, memakan nektar di keluarga Nectariniidae dan paling sering ditemukan dekat tumbuhan berbunga di hutan lembap Asia Tenggara.
   
   
MORE INTERESTING FEATHERED CARNIVORES
   
Burung hantu sunda, berburu pada malam hari dan utamanya memakan serangga tetapi juga makan binatang pengerat, kadal, dan burung kecil. Burung hantu ini suara rejan.
s
   
   
   
s
Sejenis burung hantu pemancing yang berburu di kolam ikan Vila Botani pada malam hari menggunakan pelet kotoran sebagai umpan untuk memikat ikan lele supaya mengambil dalam aktivitas berburunya.